Sisa embun malam yang masih bertahta di rerumputan halaman FKIP Reklama menjadi saksi bisu. Pagi itu, tanggal 13 Mei 2024, kami berkumpul di depan dekanat FKIP. Misi kemanusiaan kali ini adalah dosen mengajar di Sekolah Dasar di Kabupaten Pegunungan Arfak. Tema ini diusung berkat kerja sama FKIP dan Yayasan Terang Papua. Dibawah komando langsung Dekan FKIP, Bapak Hengki Mofu, kami akan bertolak menuju kota Pegaf. Perjalanan ini akan ditempuh kurang lebih 4 jam. Sebelum meninggalkan markas FKIP, sejenak kami menundukkan kepala memohon pertolongan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Selesai berdoa, kami memasuki si hitam beroda empat yang akan membawa rombongan menuju negeri di atas awan.
Perjalanan kali itu mengisahkan kenangan beragam. Bagi teman-teman dosen yang pertama kali menginjak negeri awan, tentunya pengalaman ini sangat mengesankan. Panorama alam eksotis yang memanjakan mata seolah menyembunyikan rasa cemas dan khawatir oleh pemandangan alam yang cukup menguji nyali. Kiri kanan terpampang tebing tinggi dan terjal. Sesekali kabut tebal turun menutup badan jalan membuat suasana semakin campur aduk. Takut, senang, gembira, takjub, dan tentunya bersyukur atas semua anugerahi Ilahi bagi alam Papua. Sesaat kemudian, si hitam beroda empat menurunkan kami di Puncak Kobrey. Untuk sejenak, kami meluruskan kaki yang sekian jam menekuk di antara jok mobil. Danau Anggi Giji dan Anggi Gida yang berada di sisi kanan dan kiri tak lupa kami abadikan. Mitologi kuno ini adalah cerita rakyat yang hingga kini menjadi ikon utama Pegunungan Arfak.
Sore itu kami memasuki halaman SD Negeri 43 Irai. Salah satu tempat pengabdian. Markas pengabdian berada di tengah kota pegaf, diantara danau Anggi dan deretan pegunungan hijau. Beberapa mahasiswa menyambut kedatangan kami dengan seutas senyum. Antara rindu dan senang karena dikunjungi para dosen. Kurang lebih tiga bulan mereka dipisahkan oleh jarak karena misi kemanusiaan. Berpisah dengan keluarga, para dosen, teman-teman, dan kampus tercinta.
Perlahan malam mulai merayap turun diiringi suara binatang malam. Hawa dingin seakan tidak mau ketinggalan. Air yang mestinya menjadi penyeguk dahaga berubah menjadi monster. Semua menjauh dan takut menyentuhnya. Sesekali terdengar suara pekikan kecil pengunjung dari balik dinding kamar kecil. Tubuh serasa keram dan bibir terus bergetar. Malam itu…Ditemani hawa dingin, kami tidur dengan pulas. Mungkin lelah karena perjalanan jauh atau karena hawa baru alam Pegaf yang tidak mau berkompromi membuat kami segera membalut tubuh dengan selembar kain tebal dan halus. Sesaat alam sekitar menjadi sunyi senyap. Masing-masing hanyut di alam mimpi hingga suara kokok ayam jantan tetangga memberi kabar. Malam pertama dan pagi terakhir kami lalui dengan penuh suka cita.
Di Kota Pegaf, pasar rakyat dibuka pukul 05-07.00 pagi. Sebelum melakukan misi kemanusiaan di sekolah, kami berpesiar ke pasar pagi. Kami ingin membeli beberapa hasil kebun mama-mama Pegaf sebagai buah tangan ke Manokwari. Tampak beberapa penjual membungkus tubuhnya dengan kain tebal dan halus. Kami pun tidak mau ketinggalan. Selimut, jaket, switer menjadi sahabat kami pagi itu. Biarlah setiap orang menerjemahkan hawa alam di pasar pagi dalam dunia masing-masing.
Tim kami dibagi tiga kelompok. Kelompok pertama di SD 43 Irai. Kelompok 2 SD YPPGI…. kelompok 3 di SDN. 18 Sutebey. Mengajar di sekolah dasar menjadi pengalaman baru. Tantangan, senang, dan gembira karena bisa bertemu generasi emas Papua di negeri awan. Pukul 8.00 WIT dua kelompok yang berlokasi agak jauh sudah bergerak menuju lokasi. Kurang lebih tiga jam masing-masing kelompok berjibaku menyuguhkan pembelajaran terbaik dan menyenangkan bagi siswa. Jurusan Fisika memberikan materi tentang media pembelajaran bertema jenis gaya dalam ilmu Fisika. Pembelajaran diselingi permainan. Jurusan Bahasa Indonesia memberikan materi mengeja huruf di media papan. Kelompok 2 memutar film anak berjudul Jika Aku Besar Nanti. Kelompok 3 menggunakan media kotak sifat cahaya dan media jarimatika.
Siang itu hawa dingin diselimuti bias mentari. Dingin yang menggigit kulit hingga ubun-ubun seolah hilang tanpa jejak. Sebelum fajar sore menjemput, kami harus meninggalkan negeri awan. Danau Anggi Giji dan Anggi Gida terus memantau dari jauh. Mereka seolah ikut merasakan suasana kami siang itu. Tatapan dingin dan kosong dalam kebisuan abadi. Senang dan sedih. Sesekali mereka melambaikan tangan. Wajah mereka berhias senyum tipis diantara bias mentari dan kabut dingin. Selamat jalan sobat. Selamat jalan para pahlawan kemanusiaan. Selamat jalan para pendekar pendidikan. Terima kasih sudah mengunjungi kami. Sampai bakudapa kembali di lain waktu. Kami akan terus mengukir kisah romantis ini dalam lukisan “Negeri di Atas Awan”.
Oleh Insum Malawat